MENONTON PUISI LEON AGUSTA

Nasib film dokumenter di kalangan penikmat film – khususnya anak muda – agaknya tidak sebaik film fiksi. Selain lebih sukar memperoleh sumber pendanaan, saat film dokumenter jadi pun pembuatnya harus bersiap bertemu penonton yang mungkin tidak seramai film fiksi. Tentu pendapat tersebut masih dapat diperdebatkan, namun adanya kenyataan bahwa masyarakat masih menganggap film dokumenter sebagai suguhan yang “berat” dan membosankan tampaknya belum memudar.

Meski demikian, film dokumenter sejak kemunculannya tidak berupaya menjadi yang paling populer. Film dokumenter memiliki wilayahnya sendiri yang berbeda dengan film fiksi. Ya, seperti itulah film Semua Sudah Dimaafkan Sebab Kita Pernah Bahagia (2017), yang beruntung dapat saya saksikan dalam pemutaran Sinema Rabu pada 14 Februari 2018 lalu.

Film dokumenter panjang garapan Paul Agusta bersama dengan Katia Engel ini rasanya cukup menggambarkan apa yang saya singgung soal wilayah tadi. Film yang bercerita tentang kehidupan almarhum Leon Agusta (ayah dari Paul Agusta) ini merupakan film yang sangat personal. Film ini mengikuti berbagai babak dalam kehidupan seorang Leon Agusta. Mulai dari bermukim di Sumatera Barat hingga hijrah ke Jakarta. Mulai dari kisah percintaan satu ke kisah percintaan lain. Mulai dari persoalan PRRI sampai menjadi bagian dari DKJ.

Nama Leon Agusta mungkin tidak setenar Chairil Anwar ataupun WS Rendra. Diawal film ini pun juga disinggung oleh Ayu Utami, bahwa puisi-puisi Leon, memang tidak sekeras WS Rendra apalagi Wiji Thukul. Sosoknya pun kalau mau dibandingkan, tidak se-mbeling dua penyair tersebut. Namun sebaliknya, puisi-puisi Leon adalah puisi-puisi lirih, isinya lebih banyak merekam kesakitan yang ia dan orang-orang di sekitarnya rasakan.

download-1-1024x576

Leon Agusta dalam potongan adegan film “Semua Sudah dimaafkan Sebab Kita Pernah Bahagia”sutradara Paul Agusta bersama Katia Engel
(Sumber: Official Trailer)

Salah satu pertanyaan yang muncul dibenak saya saat mendengar soal film ini – setelah tahu siapa itu Leon Agusta – apa pentingnya film ini diproduksi? Ya, tentu saja bagi sang sutradara, yang memiliki pertalian darah dengan Leon, akan mudah menjawabnya. Bagaimana dengan penonton secara umum? Setelah menyaksikan film ini, perlahan saya mulai paham mengapa film ini menjadi penting. Bahkan kemudian mulai bermunculan sejumlah alasan. Di antaranya film ini semakin memperkaya wawasan publik mengenai tokoh sastra kita.

Di balik ramainya figur-figur populer yang diangkat ke layar lebar, yang dianggap memiliki banyak pengikut dan tentunya diharapkan menghasilkan banyak keuntungan, film ini hadir jauh dari tujuan itu. Mungkin ingatan kita masih segar soal diangkatnya kisah Wiji Thukul ke layar lebar dalam film Istirahatlah Kata-kata. Setelah itu, coba sebutkan siapa sastrawan Indonesia yang kisah hidupnya diangkat ke layar lebar?

Hal lain yang menarik, inisiatif pembuatan film ini justru kuat datang dari Katia Engel. Katia sendiri merupakan warga asing, yang berprofesi sebagai seorang koreografer di Jakarta. Ketertarikan pada sosok Leon membuat Katia ingin mengangkat kisahnya dalam bentuk film. Memangnya sejak kapan orang-orang kita peduli dengan “aset” bangsa sendiri? Berbagai cerita seputar kepedulian warga asing atas “aset” kita rasanya sudah jamak terdengar. Dan rasanya sampai saat ini pun tidak membuat kita semakin peduli.

Pendekatan yang digunakan oleh Katia juga cukup menarik, bagaimana ia menempatkan puisi Leon dalam film. Selama ini, karya lain – entah lagu, patung, lukisan, termasuk puisi – kerap kali menjadi “tempelan” untuk mempercantik film. Hal berbeda dilakukan Katia, saat ditanya kenapa ia kerap menaruh puisi Leon dalam latar layar hitam. Jawabannya, Katia ingin menempatkan puisi Leon secara layak. Tidak lebih rendah dari karya film ini sendiri. Meskipun pengaruhnya pada penonton masih dapat diperbincangkan lebih lanjut, usaha Katia tetap perlu diapresiasi. Sejatinya pendekatan ini merupakan salah satu upaya menghidupkan puisi dalam medium film, bukan sebaliknya, mengubur puisi bersama sang penyair.

 Tulisan ini pertama kali dimuat di Infoscreening.co pada 4 Mei 2018. 

*Ridho Nugroho (@ridhonvgroho)

 

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑