VIRTUAL REALITY: MENGALAMI REALITAS TANGAN KEDUA

Kemarin Jum’at tepatnya pada 9 Desember 2016 akhirnya saya berkesempatan mengunjungi salah satu even film tahunan di Jogja yaitu Festival Film Dokumenter (FFD). Setelah kurang lebih empat tahun berada di Jogja, akhirnya saya berkesempatan menikmati beberapa film yang disuguhkan even yang diselenggarakan tiap Desember ini. Mulanya saya tertarik dengan tulisan yang tertera pada jadwal even yang bertuliskan “Virtual Reality: Beyond The Limitations”. Dugaan awal saya bahwa tulisan tersebut merupakan sebuah judul film yang mengangkat cerita tentang teknologi yang tengah happening saat ini yaitu VR (Virtual reality). Namun dugaan saya salah, tulisan tersebut ternyata merupakan salah satu program acara yang memutar film-film menggunakan teknologi VR.

Film pertama berjudul In My Shoes: Dancing With Myself, sebuah film dari Inggris yang berkisah tentang seorang wanita yang mengalami kelainan syaraf. Wanita ini dikisahkan tidak memiliki kontrol penuh atas dirinya, sehingga ia terkadang mengalami kejadian-kejadian aneh pada dirinya sendiri dan orang disekitarnya. Karena film ini tidak diputar dengan cara yang biasa menggunakan proyektor, maka untuk menonton film ini saya hanya perlu duduk pada sebuah kursi. Pada mulanya saya sedikit heran karena ada beberapa properti yang tidak lazim seperti sebuah daftar menu berbahasa Inggris. Kemudian setelah saya menggunakan VR tersebut rasa penasaran saya pun terjawab. Daftar menu yang saya lihat tadi ternyata menjadi bagian dari film. Termasuk kenapa desain meja dan kursi yang saya duduki seperti di sebuah restauran mewah. Film ini ternyata memiliki setting tempat disebuah restauran mewah ala barat. Pada lima menit pertama saya masih dibuat takjub dengan teknologi VR ini yang memang baru pertama saya rasakan. Suasana sebelum saya menggunakan VR yang cukup tenang seketikan menjadi ramai setelah menggunakan VR, ruangan yang saya tempati mendadak menjadi sebuah restauran mewah. Saya sempat melihat-lihat suasana disekeliling saya, semua nampak nyaris nyata. Orang-orang yang bercengkrama, bartender yang meracik minuman, pelayan yang mondar mandir. Salah satu hal yang mengagumkan adalah saya dapat melihat 360 derajad ke setiap sudut ruangan. Kejadian-kejadian aneh pun mulai saya alami sebagai tokoh yang berperan dalam film tersebut. Termasuk tiba-tiba saya mencium ada bau-bauan seperti alkohol yang cukup menyengat. Kemudian belakangan setelah film selesai saya baru mengetahui ternyata bau-bauan itu memang sudah disediakan oleh seorang petugas. Tokoh utama dalam film ini memang dikisahkan akan mencium bau-bauan tertentu pada saat kelainannya mulai kumat. Sungguh niat batin saya dalam hati.

VR1

Pemutaran pertama, nampak seorang petugas sedang membantu memasangkat alat VR. Setting tempat di buat semirip mungkin seperti di film agar penonton semakin “mengalami” film tersebut.
(Sumber: Dokumentasi Studio Tumbuh)

Film selanjutnya berjudul Notes On Blindness, film yang kedua ini berkisah tentang catatan Visual seorang John Hull yang kehilangan penglihatannya pada 1983. Film ini sepenuhnya berisi animasi, dimana penggarapannya berdasarkan catatan visual John Hull yang mengisahkan kehilangan, kelahiran kembali dan pembaharuan. Film ini sangat jauh berbeda dengan film pertama. Apabila film pertama nampak sangat realis, namun film kedua ini mengajak saya mengalami apa yang dialami John Hull yang kehilangan penglihatannya. Suasana dalam film ini didominasi oleh kegelapan, yang ada hanyalah kumpulan cahaya biru yang berbentuk sesuatu hal. Seperti cahaya biru yang membentuk manusia, mobil,  pohon, ayunan, dan sebagainya. Film ini terbagai menjadi beberapa babak dimana saya diajak mengalami perasaan tertentu disetiap babaknya. Termasuk dalam satu babak berjudul “On Panic”, saya diajak mengalami bagaimana rasanya dalam keadaan takut bertemu dengan seekor anjing galak. Dalam keadaan melihat pun pasti banyak dari kita yang panik. Namun dalam film ini saya diajak langsung mengalaminya. Tentunya masih banyak babak-babak lain yang sangat puitik.

VR2

Pemutaran kedua, suasana penonton yang sedang menikmati film yang diputar. Film kedua ini sedikit abstrak (full animasi), sehingga tidak membutuhkan setting atau properti khusus seperti film pertama.
(Sumber: Dokumentasi Studio Tumbuh)

Apabila dalam teknik sinematografi kita mengenal adanya istilah subjective angel. Dimana teknik tersebut membuat mata kamera mewakili mata kita sebagai penonton. Sehingga efek yang dirasakan seolah-olah kita berperan langsung didalam film tersebut. Namun dengan adanya teknologi VR efek tersebut dapat dirasakan jauh lebih nyata. Mata kita sudah mampu terlibat langsung dalam tiap adengan film, dimana kita memiliki kendali penuh atas penglihatan kita sendiri. Pada akhirnya realitas tangan kedua (Secondhand Reality) yang kita dapat dari film bukan hanya dapat kita konsumsi secara pasif namun dapat kita alami.

Secara keseluruhan kedua film tadi membuat saya hingga tulisan ini dibuat sungguh takjub. Banyak hal yang saya bayangkan dengan menggunkan teknologi VR ini. Konon katanya beberapa orang menyebut bahwa film merupakan bentuk akhir dari seni. Saya mulanya tidak begitu yakin dengan peryataan tersebut. Namun saya berfikir ulang, lalu kalau bukan akhir, apakah ada bentuk lain dari seni setelah film (lengkap dari segi audio dan visual). Pada akhirnya saya tahu bahwa bentuk film yang kita nikmati di layar laptop dan gedung bioskop saat ini bukanlah bentuk akhir. Sebuah catatan disebuah surat kabar nasional sempat menuliskan wacana “Post Cinema” atas karya Garin Nugroho terbaru berjudul Setan Jawa. Saya belum sempat membaca tulisan tersebut namun saya menduga wacana post cinema tersebut hadir menanggapi film Garin tersebut yang menggabungkan antara seni film dengan aksi teatrikal dan live music. Tidak ada yang salah, namun dengan adanya teknologi VR wacana post cinema bagi saya menjadi semakin luas dan beragam bentuknya.

Teknologi VR ini praktis membuat saya teringat pada sebuah film fiksi bergenre romantic Sci-fi berjudul Her (2013). Film ini merupakan favorit saya dari sekian banyak film yang mencoba meramalkan kehidupan manusia dimasa mendatang kaitannya dengan teknologi. Film Herbercerita tentang seorang tokoh bernama Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) yang merasakan kesepian teramat sangat. Dari rasa kesepiannya itulah yang membuatnya tertarik mencoba menggunakan sistem operasi komputer yang pada masa itu mampu berinteraksi dan berkembang layaknya manusia. Theodore memutuskan untuk memilih sistem operasi wanita yang ia beri nama Samantha (Scarlett Johansson). Tak disangka Theodore pada akhirnya harus terlibat perasaan yang rumit dengan Samantha. Secara keseluruhan film ini sangat puitik menceritakan kesendirian Theodore dan kerumitan hubungannya dengan Samantha. Dari film ini kemudian yang membawa saya berfikir kehidupan manusia akan semakin relevan dengan teori komunikasi yang menyatakan bahwa teknologi akan menjadi sahabat manusia bahkan mampu “mengendalikan” kehidupan manusia.

Film Her tersebut disatu sisi memperlihatkan kemajuan teknologi yang luar biasa, namun disatu sisi juga menunjukan adanya degradasi relasi sosial antar manusia. Bukankah saat ini kita sudah cukup terganggu dengan teman yang lebih sering memandangi layar smartphonenya ketimbang ngobrol dengan kita? Tentu sudah terbayang apabila teknologi VR ini akan dimiliki setiap orang dimasa depan nanti. Sejauh ini, dari bincang-bincang saya dengan volunteer FFD yang saat itu menjaga buku tamu, ia mengatakan teknologi VR ini masih tergolong baru di Indonesia, terutama kaitannya dengan film. Saat ini di beberapa negara maju teknologi VR lebih sering digunakan untuk film-film bergenre fiksi Horror dan Adventure. FFD sendiri menghadirkan VR karena dukungan dari Britis Council sebagai lembaga yang menghadirkan kedua film tadi juga bekerjasama dengan Samsung sebagai penyedia teknologi VR tersebut. Seperangkat VR yang saya gunakan itu ternyata dapat kalian dapatkan dengan menebusnya seharga 12 juta (untuk saat ini).

Sebelumnya saya tidak pernah terfikir sedikitpun untuk panjang umur atau hidup abadi seperti dalam film-film. Namun setelah mengetahui teknologi VR ini entah mengapa rasa penasaran akan masa depan membuat saya ingin hidup lebih lama. Menarik untuk mengetahui evolusi film dimasa mendatang termasuk kaitannya dengan teknologi VR. Namun kalaupun tidak diberi umur panjang, setidaknya saya juga perlu bersyukur karena tidak akan merasakan bagaimana rasanya putus dan berujung susah move on dari pacar virtual. Ah, pasti sakit sekali rasanya.

Tulisan ini pertama kali di publikasikan pada 17 Desember 2016 di Jcmkineklub.com

*Ridho Nugroho (@ridhonvgroho)

 

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog di WordPress.com

Atas ↑